NASEHAT KEHIDUPAN
suatu hari seorang tua bijak didatangi seorang pemuda yang sedang dirundung masalah, tanpa membuang waktu pemuda itu langsung menceritakan semua masalahnya. pak tua bijak hanya mendengarkan dengan seksama. lalu ia mengambil segenggam serbuk pahit dan meminta anak muda itu untuk mengambil segelas air.
ditaburkannya serbuk pahit itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan, "Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya", ujar pak tua. "Pahit, pahit sekali", jawab pemuda itu sambil meludah ke samping. Pak tua itu tersenyum, lalu mengajak tamunya ini untuk berjalan ke tepi telaga belakang rumahnya. kedua orang itu berjalan berdampingan dan akhirnya sampai ke tepi telaga yang tenang itu.
sesampainya di sana, Pak tua itu kembali menaburkan serbuk pahit ke telaga dan dengan sepotong kayu ia mengaduknya. "Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah." Saat si pemuda mereguk air itu, Pak tus kembali bertanya lagi kepadanya, " Bagaimana rasanya?" "Segar", sahut si pemuda itu. "Apakah kamu merasakan pahit di dalam air itu?"tanya pak tua. "Tidak", sahut pemuda itu. pak tua tertawa terbahak-bahak sambil berkata, "Anak muda, dengarkan baik-baik. pahitnya kehidupan adalah layaknya segenggam serbuk pahit ini, tak lebih tak kurang. jumlah dan rasa pahitnya pun sama dan memang akan tetap sama. tetapi kepahitan yang kita rasakan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkannya. jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu ysng kamu dapat lakukan; Lapangkanlah dadamu menerima semuanya itu, luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu".
Pak tua itu lalu kembali menasehati: "Hatimu adalah wadah itu; Perasaanmu adalah tempat itu; Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. jadi jangan jadikan hatimu seperti gelas. buatlah hatimu laksana telaga yang mampu menampung setiap kepahitan itu, dan merubahnya menjadi kesegaran dan kedamaian. karena hidup adalah sebuah pilihan, mampukah kita jalani kehidupan dengan baik sampai ajal kita menjelang? belajar bersabar menerima kenyataan adalah yang terbaik."
sumber: majalah Taqwa al-Qalbi
ditaburkannya serbuk pahit itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan, "Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya", ujar pak tua. "Pahit, pahit sekali", jawab pemuda itu sambil meludah ke samping. Pak tua itu tersenyum, lalu mengajak tamunya ini untuk berjalan ke tepi telaga belakang rumahnya. kedua orang itu berjalan berdampingan dan akhirnya sampai ke tepi telaga yang tenang itu.
sesampainya di sana, Pak tua itu kembali menaburkan serbuk pahit ke telaga dan dengan sepotong kayu ia mengaduknya. "Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah." Saat si pemuda mereguk air itu, Pak tus kembali bertanya lagi kepadanya, " Bagaimana rasanya?" "Segar", sahut si pemuda itu. "Apakah kamu merasakan pahit di dalam air itu?"tanya pak tua. "Tidak", sahut pemuda itu. pak tua tertawa terbahak-bahak sambil berkata, "Anak muda, dengarkan baik-baik. pahitnya kehidupan adalah layaknya segenggam serbuk pahit ini, tak lebih tak kurang. jumlah dan rasa pahitnya pun sama dan memang akan tetap sama. tetapi kepahitan yang kita rasakan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkannya. jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu ysng kamu dapat lakukan; Lapangkanlah dadamu menerima semuanya itu, luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu".
Pak tua itu lalu kembali menasehati: "Hatimu adalah wadah itu; Perasaanmu adalah tempat itu; Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. jadi jangan jadikan hatimu seperti gelas. buatlah hatimu laksana telaga yang mampu menampung setiap kepahitan itu, dan merubahnya menjadi kesegaran dan kedamaian. karena hidup adalah sebuah pilihan, mampukah kita jalani kehidupan dengan baik sampai ajal kita menjelang? belajar bersabar menerima kenyataan adalah yang terbaik."
sumber: majalah Taqwa al-Qalbi